bagian : 9 Fatwa-fatwa Syar‘iy

Jika tidak Memungkinkan Membunuh Orang kafir Selain Dengan Membunuh Wanita Dan Anak-Anak Serta Orang Yang Haram Dibunuh Yang Bersamanya, Bolehkan Membunuh Mereka?
Jawab: Boleh membunuh mereka meskipun mereka tidak ikut berperang atau membantu peperangan, jika tidak orang kafir itu tidak bisa dibunuh selain dengan cara itu. Namun tidak boleh menyengaja membunuh mereka atau menjadikan mereka target, sebagaimana disebutkan di dalam hadits Sho‘b bin Jatsamah ia berkata: Rosululloh n ditanya tentang orang-orang Musyrik yang diserang di malam hari lalu wanita dan anak-anak mereka ikut terkena, maka beliau bersabda: “Mereka termasuk mereka.” (Muttafaq ‘Alaih).
Ibnu Qudamah v berkata: “Boleh menyerang orang-orang kafir di malam hari dan membunuh mereka ketika mereka lengah. Ahmad berkata: “Tidak apa-apa melakukan Al-Bayaat (penyerangan di malam hari), bukankah serangan ke Romawi dilakukan di malam hari?” ia juga berkata: “Kami tidak mengetahui seorang pun yang memakruhkan penyerangan musuh di malam hari.” Sufyan membacakan kepadanya hadits dari Az-Zuhri dari Abdulloh dari Ibnu Abbas dari Sho‘b bin Jatsamah ia berkata: “Aku mendengar Rosululloh ditanya tentang perkampungan orang-orang Musyrik yang kami serang di malam hari sehingga mengenai wanita dan anak-anak mereka, maka beliau menjawab: “Mereka termasuk mereka.” Maka Ahmad berkata: Isnadnya jayyid.
Jika dikatakan bahwa Nabi n melarang membunuh wanita dan anak-anak, maka kami katakan larangan beliau tersebut berlaku jika pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja. Ahmad berkata: “Adapun jika menyengaja, maka tidak boleh.” Ia menambahkan: “Hadits Sho‘b datang setelah larangan beliau untuk membunuh wanita, sebab larangan tersebut muncul ketika beliau mengirim sahabat untuk membunuh Ibnu Abi `l-Huqoiq. Di samping itu, dua hadits ini juga bisa dikompromikan, yaitu larangan itu berlaku jika dilakukan dengan sengaja, dan boleh jika tidak sengaja.” (Lihat: Al-Mughni wa `s-Syarhi `l-Kabir juz X/ 503).
Masalah Taqiyyah:
Alloh Ta‘ala berfirman:
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Alloh kembali (mu).” (QS. Ali Imron: 28)
Ibnu Katsir v berkata: “Firman Alloh: …kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka, maksudnya siapa yang ketakutan di sebagian negeri atau masa dari kejahatan mereka maka dia boleh bertaqiyah (bersiasat) secara dzohir, tapi tidak dengan batin dan niatnya.”
Dari keterangan ini jelas bahwa taqiyah yang berarti mudaroh kepada orang-orang kafir, itu diperbolehkan hingga hari Kiamat. Termasuk di dalamnya menyembunyikan sebagian iman seperti mencintai karena Alloh dan membenci karena-Nya. Dan para ulama sepakat (ijmak) bahwasanya tidak ada kata taqiyah atau terpaksa dalam urusan pembunuhan; artinya seseorang yang mengaku dirinya Muslim tidak boleh melakukan pembunuhan terhadap kaum Muslimin atau memerangi mereka dengan alasan dia berada di bawah kekuasaan orang kafir, lalu dia mentaati mereka dengan alasan taqiyah dan terpaksa. Yang seperti ini sama sekali bukan udzur untuk melakukan perbuatan tersebut.
Masalah Orang Muslim Mengucapkan Salam Kepada Orang Kafir Karena Takut Kepadanya:
Ibnu Hajar v berkata: “An-Nawawi berkata: ‘Jika seseorang terpaksa mengucapkan salam karena takut akan terjadi kerusakan dalam agama atau dunia jika ia tidak mengucapkan salam tersebut, maka tidak mengapa dia mengucapkan salam.’ Ibnul Arobi menambahkan: ‘Niatnya ketika mengucapkan salam adalah bahwa As-Salam itu adalah salah satu Nama Alloh Ta‘ala, sehingga seolah-olah dia berkata: Alloh Maha Mengawasi kamu.’ Dan tidak ada perbedaan pendapat mengenai bolehnya mengucapkan salam di sebuah majelis yang di situ orang Muslim dan orang kafir bercampur lalu meniatkannya untuk orang Muslim, seperti diriwayatkan Bukhori dari Usamah bin Zaid.”
Masalah Bolehnya Meninggalkan Sholat Jamaah dan Sholat Jumat Bagi Orang Yang Takut:
Seperti orang yang takut dari serangan orang-orang kafir dan kaki tangan mereka yang memantau masjid-masjid dan para penghuninya. Maka, orang seperti ini boleh meninggalkan sholat Jamaah dan sholat Jumat, namun jangan menjadikan itu sebagai kebiasaan rutin. Bisa jadi ini boleh dilakukan di suatu tempat namun di tempat lain tidak diperbolehkan. Boleh dilakukan di suatu waktu dan tidak boleh di waktu lain. Sebab sholat jamaah adalah wajib, dan sesuatu yang wajib tidak boleh ditinggalkan kecuali ketika ada udzur syar‘i yang jelas.
Masalah ini bisa Antum jumpai di buku-buku fikih pada Bab: Udzur-udzur meninggalkan sholat Jamaah. Di antaranya seperti dikatakan Ibnu Qudamah Al-Hanbali v : “Ada udzur untuk meninggalkannya –yakni sholat Jamaah dan Jumat—bagi orang yang takut, berdasarkan sabda Nabi n: “Udzur itu adalah takut atau sakit.” Takut sendiri ada tiga macam: takut akan keselamatan jiwa, takut akan keselamatan harta, dan takut akan keselamatan keluarga. Adapun yang pertama seperti takut jiwanya terancam oleh penguasa yang akan menangkapnya, atau musuh atau pencuri atau binatang buas, atau binatang biasa, atau air bah, atau apa saja yang bisa membahayakan nyawanya.”
Terdapat hadits yang menunjukkan kebenaran hukum ini, yaitu hadits Hudzaifah yang disepakati keshohihannya oleh Bukhori dan Muslim, di sana dinyatakan: “…kami ditimpa ujian sampai seseorang harus sholat sendirian.” Dalam situasi tertentu, bisa saja seorang Muslim berpindah-pindah masjid untuk sholat, atau sholat lebih dari satu masjid untuk menghindari pantauan orang-orang kafir terhadapnya.”
Penjelasan Tentang Bolehnya Bunuh Diri Karena Takut Bocornya Rahasia:
Pertama: Hendaknya diketahui bahwa melindungi agama dan para pengikutnya adalah tugas terbesar seorang Mujahid yang berjihad untuk meninggikan kalimat Alloh. Telah sampai kepada kita nash-nash yang tak menyisakan tempat untuk ragu-ragu, akan bolehnya, bahkan afdholnya, seorang Mujahid mengorbankan nyawa demi agama dan saudara-saudaranya. Rosul n pernah berlindung dengan para shahabat dalam perang Uhud dan beliau tidak mengingkarinya.
Kedua: Jika bunuh diri demi agama terdapat unsur keharaman, tentu Syaari‘ tidak memuji perbuatan ini, seperti yang dilakukan oleh bayi dari seorang perempuan yang dilemparkan dalam parit api (Ash-habul Ukhdud). Kemampuan bayi itu berbicara tak lain adalah bukti nyata yang menjelaskan keutamaan perbuatan ini. Di sini kita tidak bisa beralasan bahwa itu adalah syariat pada umat sebelum kita dan tidak disyariatkan untuk kita, sebab syariat kita ternyata juga memuji perbuatan tersebut dan menyebutnya dalam konteks pujian dan pembenaran.
Ketiga: Terdapat sebuah hadits diriwayatkan oleh Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubro (IX/ 100), ia berkata: “Asy-Syafi‘i a berkata: ‘Ada seorang dari Anshor yang tidak bergabung dengan para sahabat yang dibantai di Bi’ru Ma‘unah, lalu ia melihat seekor burung bertengger di atas mayat teman-temannya, maka ia berkata kepada Amru bin Umayyah: “Aku akan maju menghadapi musuh agar mereka membunuhku, aku tidak mau tertinggal dalam peristiwa di mana shahabat-shahabat kita dibunuh.” Maka dia pun melakukannya dan akhirnya terbunuh. Hal itu diceritakan Amru kepada Rosululloh n, maka beliau memberikan komentara yang positif. Ada yang mengatakan: Kemudian beliau berkata kepada Amru: “Kenapa kamu tidak ikut maju?”
Yang menunjukkan di sini adalah perkataan shahabat tadi: “Aku akan maju menghadapi musuh agar mereka membunuhku…” dan Rosul n tidak mengingkari aksi tersebut, bahkan memberikan komentar positif, bahkan mengatakan kepada Amru: “Mengapa kamu tidak ikut maju?”
Keempat: Hadits yang diriwayatkan Hakim di dalam Mustadrok-nya –dan ia mengatakan isnadnya shohih meski tidak dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim— dari Jabir a dari Nabi n beliau bersabda: “Pemuka orang-orang yang mati syahid adalah Hamzah bin Abdul Mutholib dan seseorang yang menghadapi penguasa lalim lalu ia beramar makruf nahi mungkar kepadanya hingga penguasa itu membunuhnya.”
Petunjuknya di sini adalah: Islam mendorong perbuatan mengorbankan nyawa demi kalimat kebenaran yang Alloh perintahkan. Sebab orang yang menghadapi penguasa di sini, sebelumnya sudah tahu akibatnya jika ia mengatakan kalimat yang benar, yaitu dibunuh. Dengan demikian, ia sendiri yang mempermudah agar dirinya sendiri terbunuh, akan tetapi kepentingan agama adalah alasan yang disyariatkan dan dianjurkan.
Kelima: Disebutkan di dalam Shohih Bukhori-Muslim, dari Yazid bin Abi Ubaid ia berkata: Aku berkata kepada Salamah bin Akwa‘ a: “Atas apa kalian berbaiat kepada Rosululloh n dalam peristiwa Hudaibiyah?” Ia berkata: “Untuk mati.”
Petunjuknya di sini adalah: Bahwa berbaiat tersebut berisi kesiapan untuk mati di jalan Alloh dan membela agama –termasuk mashlahat agama adalah menimbulkan kerugian pada musuh—, bukan untuk menimbulkan kerugian kepada musuh itu sendiri, sehingga ketika itu tidak tercapai berarti tidak boleh ada baiat. Sebab tidak bisa dikatakan bahwa jihad fi sabilillah dilakukan karena hendak memberi kerugian kepada musuh, tapi sebaliknya (bisa dikatakan demikian).
Keenam: Sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thobari di dalam Tarikh-nya (II/ 338) ketika ia menceritakan tentang perang Yarmuk, tatkala perang telah berlangsung lama, ia berkata: “…Ikrimah bin Abi Jahal berkata pada hari itu: “Aku dulu memerangi Rosululloh n di setiap kesempatan, kemudian aku akan lari menghindari kalian –pasukan Rum— hari ini?” setelah itu dia berteriak mengajak siapa yang mau berbaiat untuk mati. Maka ia dibaiat oleh Harits bin Hisyam dan Dhiror bin Azwar bersama 400 orang kaum Muslimin dan pekuda-pekudanya. Kemudian mereka berperang di depan kemah Kholid bin Walid sampai semua dari mereka terluka dan terbunuh selain yang sembuh dari lukanya, salah satunya adalah Dhiror bin Awzar. Kemudian Kholid datang setelah mereka mendapati Ikrimah terluka, lalu Kholid meletakkan kepala Ikrimah di pahanya dan kepala Amru bin Ikrimah di betisnya, lalu ia usap wajah keduanya sementara leher mereka mencucurkan air, Kholid berkata: “Tidak! Ibnul Hantamah menganggap kita tidak mendapat kesyahidan.”
Ibnul Mubarok meriwayatkan di dalam Kitabul Jihad (I/ 88) dan Baihaqi di dalam kitab Sunan-nya (IX/ 44) dari Tsabit: Bahwasanya Ikrimah bin Abi Jahal a berjalan pada suatu hari, maka Kholid bin Walid berkata kepadanya: “Jangan kau lakukan, karena terbunuhnya dirimu berat bagi kaum Muslimin.” Dia berkata: “Biarkan aku, wahai Kholid. Karena kamu telah lebih dahulu menyertai Rosululloh n, sedangkan aku dan ayahku dulu adalah orang yang paling memusuhi Rosululloh n.” Kemudian dia terus maju hingga terbunuh.
Petunjuknya di sini adalah: Adanya peristiwa baiat untuk mati, bukan untuk menimbulkan kerugian kepada musuh, tetapi tujuan utamanya adalah mencari kesyahidan di jalan Alloh, di mana menimbulkan kerugian pada musuh hanya merupakan salah satu mashlahat darinya.
Ketujuh: Sebuah hadits yang diriwayatkan Baihaqi di dalam Sunan Kubro-nya (44) dan lain-lain, ia berkata: “…pada perang Yamamah, ketika Bani Hanifah berlindung di dalam benteng taman Musailamah yang dikenal dengan taman Ar-Rohman atau Taman Kematian, Barro bin Malik berkata kepada para shahabatnya: “Letakkan aku di atas perisai kulit –biasanya digunakan untuk melempar musuh dengan batu— dan lemparkanlah aku.” Maka mereka melemparkan Barro’ ke tengah-tengah musuh, lalu dia berperang sendirian dan berhasil membunuh sepuluh orang dari mereka, lalu dia membuka pintu benteng, hari itu dia terluka sebanyak 80 luka.” Ia berhasil membukakan pintu untuk kaum Muslimin dan tidak ada seorang shahabat pun yang mengingkarinya.
Di sini ada isyarat halus, yaitu duduknya Barro’ di atas tameng, itu merupakan andil dia secara langsung untuk membunuh dirinya sendiri. Hal ini supaya tidak ada yang membantah bahwa orang yang bunuh diri karena khawatir bocornya rahasia itu berperan langsung untuk membunuh dirinya, sedangkan Barro’ tidak seperti ini. Bahkan lebih dari itu, para shahabatnya turut membantu untuk membunuhnya, padahal orang yang menjadi sebab terjadinya bunuh diri sama dengan pelakunya langsung. Sebagaimana orang yang menjadi sebab terbunuhnya orang lain, di dalam hukum-hukum duniawi sama dengan pembunuhnya. Bahkan Jumhur Ulama dari kalangan Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah, menetapkan jatuhnya hukum qishosh atas orang yang turut menjadi sebab terbunuhnya orang lain sebagaimana pelakunya langsung, namun bila dia tidak sengaja maka ia cukup membayar diyat. Pendapat ini ditentang oleh madzhab Hanafi.
Kedelapan: Sebuah kisah yang diriwayatkan Ibnu Jarir di dalam Tarikh-nya (V/ 194) bahwa Abdulloh bin Zubair a dalam perang Jamal berduel dengan Asytur An-Nakho‘iy, kedua-duanya sama-sama terkena sabetan pedang. Ketika ‘Abdulloh merasa Asytur akan lepas darinya, ia mengucapkan kata-katanya yang terkenal: “Bunuhlah aku dan Malik.” Asy-Sya‘bi berkata: “Orang-orang ketika tidak tahu kalau Asytur memiliki nama lain Malik. Seandainya Ibnu Zubair berkata: Bunuhlah aku dan Asytur, kemudian Asytur memiliki sejuta nyawa, tentu tidak ada satupun yang selamat. Kemudian Asytur terus bergerak-gerak di tangan Ibnu Zubair hingga akhirnya dia terlepas darinya.”
Permintaan Zubair a kepada para shahabatnya untuk membunuhnya bersama Asytur merupakan dalil akan bolehnya bunuh diri demi kemashlahatan agama, jika memang situasi menuntut hal itu. Kalau itu tidak boleh, tentu Ibnu Zubair tak berani mengajukan permintaan ini.
Kesembilan: Di dalam kisah Ash-habu `l-Ukhdud, ketika pemuda Ghulam meminta agar dirinya dibunuh karena dia ingin berkorban demi agama, mengandung keterangan bahwa perbuatan tersebut disyariatkan dan bukan disebut sebagai tindakan bunuh diri. Di dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Muslim meriwayatkan di dalam Shohih-nya dari Nabi n mengenai kisah Ash-habul Ukhdud, di sana disebutkan bahwa Ghulam menyuruh agar dirinya dibunuh karena dia bertujuan meraih kepentingan berupa dzuhuru `d-din (kemenangan agama). Oleh karena itu, Imam Madzhab yang Empat memperbolehkan seorang Muslim menerjunkan diri di barisan orang-orang kafir meskipun ia menduga kuat bahwa mereka akan membunuhnya, jika memang aksi tersebut membawa kemashlhatan bagi kaum Muslimin. Kami telah menjabarkan pendapat tentang masalah ini di tempat lain.”
Ghulam sendiri juga tidak menerima wahyu untuk melakukan perbuatannya tersebut dan tidak mengetahui hasil apa yang akan dia raih. Menurut penilaian saya –yang terbatas—, ini termasuk dalil paling kuat yang menunjukkan bahwa masalah ini adalah boleh, bahkan siapa yang melakukannya termasuk syuhada, insya Alloh.
Kesepuluh: Satu hal yang sudah menjadi perkara baku di kalangan seluruh Ulama tanpa terkecuali, adalah bahwa seorang Muslim tidak boleh mempertahankan hidupnya sendiri dengan membunuh orang beriman lainnya , apapun kondisinya. Lalu bagaimana dengan orang yang mempertahankan hidupnya dengan membunuh ratusan Muslim? Sebab orang yang tertangkap, ketika dia membuka rahasia kaum Muslimin yang bisa mencelakakan mereka, tujuan dia adalah agar dia terlepas dari siksaan yang menimpa dirinya, ia tidak akan terlepas dari siksa selain dengan membuka rahasia sehingga kaum Muslimin akan celaka agar dirinya selamat. Apakah perbuatan seperti ini akan dinyatakan boleh oleh orang bodoh? Apalagi orang berilmu. Oleh karena itu, di dalam At-Taaj Al-Muhadzab diungkapkan kata-kata seperti ini: “Dan tidak boleh ia menebus dirinya (agar selamat) dengan membunuh orang lain.” Nabi n bersabda: “Tolonglah saudaramu, baik ketika ia dzolim atau didzolimi.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rosululloh, kita bisa menolong orang yang terdzolimi, bagaimanakah menolong orang yang dzolim?” Beliau bersabda: “Engkau mencegahnya dari kezaliman, itulah pertolonganmu kepadanya.” (Lihat: Bada’i‘u s-Shona’i‘ tulisan Al-Kaasaaniy).
Para fuqoha tidak menjelaskan masalah ini selain karena besarnya kesucian darah seorang Muslim untuk ditumpahkan sedemikian mudah. Disebutkan dalam riwayat Ahmad di dalam Az-Zuhd, Tirmizi di dalam Sunan-nya, Nasa’i, Ibnu Majah, Baihaqi dan lain-lain, dari Amru bin Ash radhiyallahu anhu berkata: Rosululloh n bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh membunuh satu orang Muslim itu lebih besar di sisi Alloh daripada hilangnya dunia.” Dalam lain riwayat: “Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Alloh daripada terbunuhnya satu orang Muslim.” Dalam riwayat lain: “Membunuh satu orang beriman lebih besar di sisi Alloh daripada lenyapnya dunia.”
Dan dari Jabir ia berkata: “Ketika Nabi n berhasil menaklukkan Mekkah, beliau menghadapkan wajah ke arahnya sambil bersabda: “Kamu adalah suci, betapa agungnya kesucianmu dan betapa harum aromamu, yang lebih besar kesuciannya di sisi Alloh darimu adalah orang yang beriman.” (HR. Thobroni di dalam Al-Awsath)
Kesebelas: Orang yang tertangkap ini, jika dia tidak bunuh diri lalu membocorkan rahasia kaum Muslimin, maka berarti ia telah membunuh orang lain, ia sama hukumnya dengan orang yang menyepelekan penyelamatan nyawa orang lain. Seolah-olah, dia melihat orang tersebut hampir mati tapi dia tidak mengulurkan bantuan padahal dia mampu, sehingga akhirnya dia pun mati. Maka dia bedosa tanpa diragukan lagi, sebab dia wajib melindungi nyawa orang lain. Ini termasuk perkara yang disepakati para ulama. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib tidaknya ia membayar ganti rugi dalam hal itu. Adapun jumhur –Madzhab Hanafi, Syafi‘i, dan Hanbali dalam satu riwayat— berpendapat bahwa dia tidak harus mengganti, karena dia tidak membunuhnya, baik langsung maupun sekedar menjadi sebab. Sedangkan madzhab Maliki dan Hanbali dalam satu riwayat lain menyatakan wajibnya mengganti rugi, sebab dia tidak menyelamatkannya dari kematian padahal dia mampu.
Hal yang sama dinyatakan pada orang yang tenggelam kemudian tidak ditolong, para Fuqoha sepakat bahwa seorang Muslim berdosa ketika ia tidak menyelamatkan orang yang tenggelam yang terlindungi darahnya. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukum perbuatan dia tidak menyelamatkan itu, apakah dia harus diqishosh, ataukah membayar diyat, atau tidak punya tanggungan apa-apa? Menurut madzhab Hanafi, Syafi‘i, dan Hanbali –selain Abu `l-Khothob— seperti yang bisa ditangkap dari perkataan mereka: Bahwa orang yang tidak mau menyelamatkan orang yang tenggelam jika ia sampai mati, maka tidak ada tanggungan apapun yang harus dia tunaikan; sebab dia tidak membunuhnya dan tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan ia mati, hanya saja dia berdosa. Menurut Madzhab Maliki dan Abu `l-Khothob dari Madzhab Hanbali: Dia harus menanggung gantinya, sebab dia tidak menyelamatkannya dari kematian padahal mampu. Para pengikut madzhab Maliki mengatakan: “Diyat diambilkan dari hartanya jika ia melakukannya dengan sengaja, dan diambil dari harta seluruh kerabatnya jika dia melakukannya karena takwil.”
Ibnu Hazm bahkan lebih ekstrim lagi dalam masalah tersebut, ia menganggap perbuatan ini merupakan salah satu bentuk pembunuhan. Orang yang mampu menyelamatkan orang lain dari kematian tapi tidak melakukannya; maka dia harus dihukum mati, dengan cara apapun sesuai bentuk kematian orang tersebut. Ia berkata: “Masalah: Siapa yang meminta minum kepada suatu kaum lalu mereka tidak memberinya minum sampai dia mati, Ali berkata: “Kami meriwayatkan dari jalur Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Al-Asy‘ats dari Al-Hasan; bahwasanya ada seseorang yang meminta minum di pintu suatu kaum lalu mereka menolak memberinya minum, akhirnya ia kehausan sampai mati, maka akhirnya ‘Umar bin Khothob a menanggung diyat-nya.
Abu Muhammad berkata: Pendapat kami dalam masalah ini –wabillahi ta‘ala `t-taufiq—; bahwa kaum yang tidak memberi minum kepada orang itu jika mereka tahu orang tersebut tidak akan mendapatkan air sama sekali selain pada diri mereka padahal dia sama sekali tidak bisa mendapat air lalu dia mati, maka mereka telah membunuhnya secara sengaja, mereka harus diqishosh dengan cara tidak diberi minum sampai mereka semua mati –baik jumlah mereka banyak atau sedikit—, namun tidak termasuk di dalamnya orang yang tidak tahu kondisinya dan tidak mampu memberinya minum. Adapun jika mereka tahu akan hal itu, tapi mereka memperkirakan dia akan memperoleh air, maka mereka telah membunuhnya secara tidak sengaja (qotlu `l-khotho’), seluruh kerabatnya harus menanggung diyatnya. Dalilnya adalah firman Alloh Ta‘ala: “Tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketakwaan dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2) Dan firman Alloh Ta‘ala: “Maka siapa saja yang menganiaya diri kalian, balaslah penganiayaan tersebut sebanding dengan penganiayaan mereka terhadap dirimu.” (QS. Al-Baqoroh: 194). Dan berfirman: “…dan pada sesuatu yang dihormati, berlaku hukum qishosh.” (QS. Al-Baqoroh: 194).
Setiap Muslim di seluruh dunia ini tahu secara yakin, bahwa siapa yang dimintai minum oleh Muslim lainnya dan dia mampu memberinya minum lalu dengan sengaja dia tidak memberinya minum sampai dia mati kehausan, maka berarti dia telah menganiayanya, ini tidak diperselisihkan satu orang pun dari Umat Islam. Dan jika dia telah menganiayanya, maka berdasarkan nash Al-Quran dia harus dibalas dengan balasan yang sama, dengan demikian, pendapat kami adalah benar secara meyakinkan dan tidak ada yang rancu. Adapun jika dia tidak mengetahui hal itu maka ia juga telah membunuhnya, sebab dia menghalanginya dari sesuatu yang dia tidak bisa hidup kecuali denganya, maka dia membunuh secara tidak sengaja dan wajib menunaikan kewajiban bagi pembunuh yang tidak sengaja.
Abu Muhammad berkata: “Pendapat ini juga berlaku pada orang yang kelaparan dan tidak punya baju, tidak ada bedanya, semua itu adalah penganiayaan. Hanya saja ini tidak sama dengan orang yang dikejar binatang buas kemudian seseorang tidak mau melindunginya sehingga akhirnya dia dimakan oleh binatang buas tersebut; sebab dalam hal ini binatang itulah yang membunuhnya, dia tidak mati karena kejahatan kaum tersebut atau akibat dari perbuatan jahat mereka. Akan tetapi jika mereka membiarkannya lalu ia ditangkap oleh binatang buas padahal mereka mampu menyelamatkannya, maka berarti mereka telah membunuhnya secara sengaja, sebab ia mati tak lain karena ulah mereka, ini sama dengan orang yang mereka masukkan ke dalam rumah lalu tidak mereka beri apa-apa sampai dia mati, tidak ada bedanya antara semua ini, semuanya sama. Wa billahi ta‘ala taufiq.”
Pendapat ini diperkuat dengan hadits yang disebutkan Al-Mushili di dalam Al-Ikhtiyar, namun ia tidak menyandarkannya kepada siapapun (IV/ 175): “Jika ada seseorang yang mati terlantar di tengah orang-orang kaya, maka mereka telah terlepas dari tanggungan Alloh dan Rosul-Nya.” Ini secara khusus, adapun secara umum maka apa yang disebutkan Ibnu Hazm dari Al-Quran itu sudah cukup.
Maka saya katakan: Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa orang yang tertangkap mampu menyelamatkan kaum Muslimin dari kematian (pembunuhan) dengan menjaga rahasia mereka dan tidak membocorkannya, walaupun itu mengakibatkan dia sendiri terbunuh. Di dalam Fathu `l-Muhadzab Li Ahkami `l-Madzhab tulisan Ash-Shon‘aniy dinyatakan: “Pasal: Perbedaan dhomaan mubaasyaroh (tanggungan akibat melakukan langsung) dan dhomaan tasabbub (tanggungan akibat melakukan sebab) dalam pidana kejahatan tidak sengaja: Ketahuilah bahwa kejahahatan yang dilakukan secara langsung, pelakunya harus menanggung ganti rugi meskipun perbuatannya itu tidak melebar ke orang lain. Maka, dia harus mengganti rugi orang yang tenggelam ketika sudah terpegang di tangannya untuk diselamatkan lalu dia merasa keberatan dan takut jika dia terus dipegang mereka berdua akan tenggelam bersama, lalu dia melepaskannya dari tangannya karena khawatir mereka berdua mati bersama. Walaupun pada aslinya niatnya baik karena ingin menyelamatkannya, tetapi tatkala ia mengkhawatirkan dirinya dia melepaskannya di air sampai dia mati, maka orang seperti ini adalah mubaasyir (pelaku langsung) dalam kejahatan ini, dia tidak boleh menebus keselamatan dirinya dengan membunuh orang lain. Oleh karena itu, dia harus menanggung ganti rugi bagi si yang tenggelam dengan cara diqishosh akibat dia telah melepasnya di air. Jika yang berpegangan adalah yang tenggelam lalu dia sendiri yang melepaskan dirinya untuk keselamatan yang dipegang, maka yang dipegang tidak menanggung ganti rugi. Jika yang dipegang mati karena dipegang oleh yang berpegangan, dia harus membayar ganti ruginya dengan harta, jika yang dipegang mati sementara orang yang mau tenggelam itu selamat: maka dia harus dihukum mati karenanya.”
Alangkah bagus kata-kata Ibnu `l-Qoyyim dalam I‘lamu `l-Muwaqqi‘in, ketika beliau mengomentari seorang lelaki yang mengaku telah berzina dan melihat orang lain akan dihukum: “Adapun gugurnya hukuman had dari orang yang mengaku, jika dia tidak terjangkau keputusan Amirul Mukminin, ‘Umar bin Khothob a, maka apalagi keputusan banyak fuqoha. Namun, dia akan terjangkau keputusan Dzat Yang Maha Lembut lagi Maha Penyayang, kemudian orang yang mengaku itu berkata: “Orang itu sudah bertaubat kepada Alloh,” dan dia tidak ingin orang itu terkena hukuman had. Dan tidak diragukan lagi bahwa pengakuan yang dia berikan secara sukarela dan atas dasar pilihan sendiri karena takut kepada Alloh dan demi menyelamatkan nyawa seorang Muslim dan sikap dia yang lebih mendahulukan kehidupan saudaranya daripada hidupnya sendiri dan menerimanya dia untuk dihukum mati (rajam); itu lebih agung daripada dosa yang dia lakukan.”
Petunjuknya di sini adalah perkataan Ibnu `l-Qoyyim: “…dan demi menyelamatkan nyawa seorang Muslim dan sikap dia yang lebih mendahulukan kehidupan saudaranya daripada hidupnya sendiri dan menerimanya dia untuk dihukum mati (rajam); itu lebih agung daripada dosa yang dia lakukan.” Asli kisah ini terdapat di dalam hadits riwayat Nasa’i.
Ibnu `l-Qoyyim v berkata, masih di dalam I‘lamu `l-Muwaqqi‘in: “Kami telah meriwayatkan di dalam Sunan Nasa’i dari hadits Samak dari ‘Alqomah bin Wa’il dari ayahnya: Bahwa ada seorang wanita yang diperkosa ketika subuh masih gelap, ketika dia pergi ke Masjid, maka ia meminta tolong kepada seorang lelaki yang melewatinya sementara pemerkosanya sudah kabur. Setelah itu lewat lagi sekelompok orang, maka wanita itu meminta tolong kepada mereka, akhirnya mereka mengejar dan menangkap lelaki yang tadi dia mintai tolong, sedangkan pemerkosanya justeru lolos. Mereka pun menggiring lelaki itu ke hadapan wanita tadi, lelaki itu berkata: “Aku adalah yang tadi menolongmu, sedangkan yang memperkosamu telah lolos.” Akhirnya ia dibawa kepada Nabi n, lalu wanita itu melaporkan bahwa lelaki inilah yang telah memperkosanya, sedangkan sekelompok orang tadi melapor bahwa merekalah yang telah menangkapnya. Lelaki itu berkata: “Justeru akulah orang yang menolongnya untuk menangkap pelakunya, tapi mereka malah mengejar dan menangkapku.” Wanita itu menyahut: “Dia dusta, dialah yang memperkosaku.” Maka Nabi n bersabda: “Bawa dia dan rajamlah dia.” Lalu tiba-tiba berdirilah seorang lelaki, ia berkata: “Janganlah kalian merajamnya, rajamlah aku. Sebab akulah yang telah menzinainya.” Orang ini mengakui perbuatannya. Maka berkumpullah tiga orang di hadapan Rosululloh n: orang yang memperkosa, orang yang menolong dan wanita itu sendiri. Kemudian beliau bersabda: “Adapun kamu, Alloh telah mengampunimu.” Kepada orang yang menolong, beliau juga mengucapkan kata-kata yang baik. Maka ‘Umar berkata: “Kalau begitu rajamlah orang yang mengaku berzina ini.” Namun Rosululloh n menolak, beliau bersabda: “…sebab Alloh telah mengampuninya.”
Kedua belas: Termasuk suatu hal yang maklum adalah bahwa Jumhur Fuqoha sepakat akan bolehnya membunuh musuh –bahkan wajib— yang membahayakan jika dia dibiarkan hidup, walaupun mengakibatkan terbunuhnya orang-orang Islam yang dijadikan tameng manusia.
Maka kami katakan: Sautu hal yang maklum bahwa ketika seorang Muslim dibunuh oleh saudaranya itu jauh lebih dahsyat daripada ketika dia membunuh dirinya sendiri –seperti disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa, Ibnu Hajar di dalam Al-Fath dan lain-lain—. Sebab ketika seorang Muslim membunuh saudaranya sesama Muslim, dia harus menanggung dua hak: pertama hak Alloh, kedua hak saudaranya. Adapun jika dia membunuh dirinya sendiri, maka hanya hak Alloh saja yang dia harus tanggung. Nah, jika membunuh tameng manusia yang Muslimin demi kepentingan Islam dan meninggikan kalimat Alloh saja boleh, apakah tidak boleh seorang Muslim membunuh dirinya sendiri demi meninggikan kalimat Alloh dan melindungi kaum Muslimin lain agar tidak terbunuh, agar tidak dilanggar kehormatannya dan tidak dijajah negerinya? Di saat yang sama, kita tidak mungkin mengatakan –apapun kondisinya— bahwa kita harus mendahulukan kepentingan satu orang daripada kepentingan ratusan orang, atau: menolak kematian satu orang dengan mematikan ratusan orang, Islam sama sekali tidak mengajarkan prinsip seperti ini. Tetapi prinsip yang dibawa oleh Syariat Islam berdasarkan kaidah-kaidah umumnya, dan yang diperintahkan kepada kita, adalah: Menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada menggapai mashlahat. Demikian pula jika dua kerusakan saling bertabrakan, maka harus diperhatikan mana yang paling besar bahayanya lalu dilakukanlah bahaya yang lebih ringan –kaidah: irtikaabu akhoffi `d-dhororoin—. Dan ini terjadi ketika orang yang tertangkap menjadikan dirinya tumbal dengan bunuh diri demi menyelamatkan nyawa ratusan orang. Firman Alloh: “..dan aku (Musa) bersegera kepada-Mu, Robbi, agar Engkau ridho (kepadaku).” (QS. Thoha: 84). Dan meninggalkan mashlahat berupa hidupnya tawanan itu harus didahulukan daripada mendapatkan kerusakan berupa terbunuhnya ratusan kaum Muslimin dan dilanggarnya kehormatan mereka, ini seperti diisyaratkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrohim v.”
Ketiga belas: Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Ibrohim v pernah ditanya tentang berbagai perlakuan yang diterima Mujahidin Aljazair ketika mereka ditangkap oleh orang-orang Perancis, hingga akhirnya mereka terpaksa mengaku dan menunjukkan keberadaan dan rahasia kaum Muslimin. Apakah mereka ini boleh bunuh diri supaya tidak memberitahu rahasia kaum Muslimin?
Maka jawaban beliau adalah sebagai berikut:
“Belakangan ini, orang-orang Perancis semakin keras dalam bertempur, mereka menggunakan jarum ulat ketika menangkap satu orang Aljazair agar dia memberitahu tempat-tempat amunisi dan titik-titik penyerangan. Tak jarang yang mereka tangkap itu adalah para tokoh, lalu dia memberitahu mereka bahwa di tempat A ada begini dan begitu. Jarum ini akan membuatnya mabuk tapi terkendali. Dalam kondisi ini kata-kata dia akan ngawur, tapi dia hanya akan mengucapkan sesuatu yang sebenarnya. Telah datang kepada kami orang-orang Aljazair yang mengaku sebagai kaum Musliminin, mereka berkata: “Bolehkah seseorang bunuh diri karena khawatir akan disuntik dengan jarum tadi, lalu dia mengatakan: Kalau saya mati maka saya syahid –di sisi lain mereka juga menerima berbagai macam jenis penyiksaan—.”
Maka kami katakan: “Jika keadaannya seperti yang kalian ceritakan, maka (bunuh diri) itu boleh. Di antara dalilnya adalah perkataan Ash-habul Ukhdud: “Kami beriman dengan Robbnya si Ghulam.” Juga perkataan sebagian ulama tentang orang yang naik di atas kapal. Hanya saja, ada sebagian yang tawaqquf dalam masalah bunuh diri, dan kerusakan yang ditimbulkan dari hal itu (membocorkan rahasia) adalah lebih besar daripada hal ini (bunuh diri), jadi kaidahnya cukup kuat, lagipula mau tak mau dia akan dibunuh juga.” (Laporan dari Fatwa-fatwa Syaikh Muhammad bin Ibrohim: juz VI/ hal. 207-208, cet. I 1399 H Al-Mathobi‘ Al-Hukuumiyah, Kitabu `l-Jihad).
Pertama: Perkataan Syaikh Muhammad bin Ibrohim: “Hal itu…” maksudnya kerusakan yang ditimbulkan dengan bocornya rahasia.
Kedua: Perkataan beliau: “…lebih bahaya daripada yang ini,” maksudnya adalah membunuh diri sendiri.
Ketiga: Perkataan beliau: “…kaidah ini cukup kuat,” maksudnya kaidah irtikaabu akhoffi `d-dhororoin (menjalani kerusakan yang paling ringan dari dua kerusakan) ataupun kaidah dalam masalah mafsadat dan mashlahat.
Keempat: Perkataan beliau: “Mau tidak mau dia akan dibunuh juga,” maksudnya baik dia bunuh diri demi melindungi kaum Muslimin atau musuh yang akan membunuhnya setelah menyiksanya dan setelah dia membocorkan rahasia.
Dalam pandangan saya yang terbatas ini; Fatwa Syaikh ini mematahkan kata-kata mereka yang bertanya: “Siapa yang mendahuluimu berpendapat seperti ini?” Oleh karena itu, setelah belakangan saya menemukan fatwa ini, saya menjadi tidak ragu untuk mengatakan: “Bisa saja orang yang tertangkap itu terkena kewajiban untuk bunuh diri demi menjaga darah dan kehormatan kaum Muslimin.” Saya tidak berani mengatakan ucapan ini kalau bukan karena melihat fatwa dari Al-‘Allamah Muhammad bin Ibrohim di atas; karena saya ingin menghindari pendapat yang nyeleneh. Tetapi sekarang, tidak ada lagi istilah pendapat nyeleneh ini, alhamdulillah. Apalagi, dalil yang disebutkan itu paling tidak menunjukkan bahwa perbuatan itu boleh. Dengan datangnya fatwa ini, kita bisa mempersingkat kata-kata.
Keempat belas: Pendapat yang bersumber dari Syaikh Hasan Ayyub di dalam bukunya: Al-Jihad wal Fidaa’iyyah fi `l-Islam (hal. 247-248) tentang bolehnya perbuatan seperti ini, ia berkata: “Bunuh diri itu, ketika memiliki alasan mendasar yang kuat terkait dengan kaum Muslimin dan bisa memberi mereka manfaat serta tidak menimbulkan marabahaya kepada mereka, maka itu boleh dilakukan. Contohnya ketika seseorang disiksa agar membocorkan rahasia tentang tempat-tempat yang dihuni para pejuang dan nama-nama mereka, atau membongkar jaringan tentara Islam, tempat-tempat amunisi dan persenjataan, serta informasi lain yang jika musuh mengetahui maka itu berbahaya bagi tentara Islam, bagi kaum Muslimin secara perseorangan, atau bagi isteri dan anak-anak mereka. Sementara di saat yang sama ia merasa tidak akan kuat menahan siksaan dan dia akan terpaksa memberitahukan rahasia-rahasia itu. Atau, dia tahu musuh akan menyuntikkan kepadanya materi yang bisa mempengaruhi saraf sehingga membuatnya mengatakan berbagai rahasia dengan sendirinya tanpa memikirkan dan tanpa merasa akan bahaya apa yang dia ucapkan. Ini ditunjukkan berdasarkan perkataan para Ulama tentang orang yang menerobos sendirian kepada barisan musuh padahal dia tahu dia pasti terbunuh, namun dia merasa bahwa aksi tersebut memiliki nilai positif bagi Islam dan kaum Muslimin. Nah, kondisi yang kita bahas ini jauh lebih penting dan lebih bahaya.”
Kelima belas: Berbagai fatwa dan dalil-dalil syar‘i yang dikemukakan para Ulama masa kini, seperti yang dinukil dari Syaikh Abdulloh bin Humaid v , fatwa Syaikh Al-Albani v, Syaikh Al-‘Allamah Hamud Al-‘Uqola’ –semoga Alloh selalu memberi taufik kepada beliau dan menyenangkan kita dengan keberadaannya—, Syaikh Sulaiman Al-‘Ulwan hafidzahullah, fatwa Ulama Yordania, Ulama Al-Azhar, Ulama Mesir dan masih banyak lagi fatwa yang dikeluarkan para Ulama dari berbagai belahan dunia, yang membolehkan meledakkan dan membunuh diri sendiri dalam rangka menimbulkan kerugian pada musuh. Fatwa ini juga merupakan fatwa akan bolehnya seorang Muslim bunuh diri jika dia takut akan menyebarkan rahasia kaum Muslimin di bawah penyiksaan, sebab di sini juga ada unsur merugikan musuh sekaligus menolong Islam dan kaum Muslimin. Jadi dua kasus di atas tidak ada bedanya, bahkan dalil-dalil para Ulama terdahulu tentang bolehnya menceburkan diri di tengah barisan musuh untuk menimbulkan kerugian kepada mereka meskipun dia yakin akan terbunuh, itu tidak ada bedanya dengan masalah yang sedang kita bahas. Hanya bedanya, yang pertama dibunuh oleh tangan musuh, sedangkan yang ini dibunuh oleh tangan sendiri, namun perbedaan ini tidak diperhitungkan, sebab orang yang membantu atau menjadi penyebab seseorang terbunuh itu sama dengan orang yang langsung melakukan bunuh diri, dan ini adalah sesuatu yang disepakati seluruh ulama.
Keenam belas: Menjadi konsekwensi yang harus dilakukan oleh siapa saja yang menfatwakan kebolehan dan keutamaan operasi mencari mati syahid (istisyhadiyah) untuk juga berfatwa mengenai kebolehan dan keutamaan orang yang membunuh dirinya sendiri demi menjadi tumbal bagi kaum Muslimin yang lain dan karena takut akan menyebarkan rahasia mereka. Sebab, menjaga nyawa kaum Beriman itu jauh lebih dikedepankan daripada membunuh beberapa orang kafir dalam operasi mati syahid, yang kadang-kadang di dalam operasi tersebut tidak terbunuh seorang pun dan hanya menghancurkan sebagian markas serta menggentarkan hati musuh.
Oleh karena itu, disebutkan di dalam kitab Bada’i‘u `s-Shonaa’i‘ (VII/ 120): “Adapun menebus tawanan dengan tawanan, maka tidak boleh menurut Abu Hanifah v. Sedangkan menurut Abu Yusuf dan Muhammad (bin Al-Hasan) diperbolehkan, alasan mereka bahwa dengan penebusan tersebut nyawa orang Muslim terselamatkan, dan menyelamatkan Muslim itu lebih dikedepankan daripada membunuh orang kafir.”
Petunjuknya di sini adalah kata-kata dua ulama yang sudah diakui tersebut: “…menyelamatkan Muslim itu lebih dikedepankan daripada membunuh orang kafir.” Ini termasuk sesuatu yang disepakati kaum cendekiawan di kalangan kaum Muslimin. Jika ada yang mengatakan: “Tidak mesti dua masalah di atas sama,” kami katakan: “Kalau begitu, tolong jelaskan di mana letak perbedaannya? Sebab membedakan hal-hal serupa tanpa dalil adalah pekerjaan yang sangat sulit.
Ketujuh belas: Para Fuqoha menetapkan –semoga Alloh merahmati mereka semua— bahwa orang yang sudah tidak bisa menghindar dari kematian lantaran dua sebab yang sama-sama buruk, maka dia boleh memilih salah satunya. Seperti orang yang kapalnya terbakar padahal dia tidak bisa berenang dan di saat yang sama di bawah kapal itu terdapat ikan-ikan buas, maka dia boleh memilih memilih mati tenggelam atau terbakar di dalam kapal. Dan jika menurut dugaannya yang kuat itu sebab yang satu lebih ringan daripada sebab yang lain, hendaknya ia mengikuti yang lebih ringan. Inilah pendapat jumhur Fuqoha seperti dinyatakan di dalam Al-Bahru `r-Ro‘iq dan Bada’i‘u `s-Shonaa’i‘.
Dinyatakan di dalam Al-Bahru `r-Ro‘iq: “Jika kaum Muslimin berada di sebuah kapal kemudian kapal itu terbakar, jika mereka menduga kuat bahwa ketika mereka menceburkan diri ke laut mereka akan selamat dengan berenang maka mereka wajib menceburkan diri ke laut untuk menghindari kematian yang sudah tidak bisa terhindarkan. Jika dua pilihan itu sama; jika mereka tetap di kapal mereka akan terbakar dan jika mereka menceburkan diri mereka akan tenggelam, maka mereka boleh memilih salah satu menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, sebab dua pilihan itu sama saja. Sedangkan Muhammad bin Al-Hasan berkata: Mereka tidak boleh menceburkan diri dalam air, sebab itu berarti mereka mati dengan perbuatan sendiri.”
Seperti ini jugalah permasalahan yang kita kaji sekarang pada umumnya; orang yang memegang rahasia itu akan terbunuh juga, baik dia memberitahukan informasi itu atau menyembunyikannya, inilah kondisi orang yang tertawan dalam peperangan kecuali dalam kondisi yang jarang. Dalam situasi seperti ini, dia harus memilih dua sebab kematiannya jika merujuk kepada pendapat para fuqoha tadi. Lalu, bagaimana menurut Anda, jika kita tambahkan lagi bahwa dia memilih sebab yang di dalamnya terdapat kebaikan bagi Islam dan kaum Muslimin?
Kedelapan belas: Dalil lain yang memperbolehkan masalah yang kita bahas sekarang ini, bahkan keutamannya, dan bahwa pelakunya layak disebut orang yang mati syahid dengan kehendak Alloh, adalah: untuk menyebutnya sebagai syahid tidak perlu melihat cara dia terbunuh dan tangan siapa yang membunuhnya, sehingga kita akan mengatakan bahwa orang yang bunuh diri karena takut akan menyebarkan rahasia bukanlah syahid dikarenakan dirinyalah yang membunuh dirinya sendiri, atau dia terbunuh bukan di medan tempur.
Oleh karena itu, nanti akan kita kaji tentang definisi syahid untuk menjelaskan bahwa orang yang membunuh diri dengan cara ini adalah syahid. Setelah itu saya akan menjelaskan tidak perlunya melihat tangan siapa yang membunuh dalam permasalahan mati syahid di jalan Alloh, sebab tidak pernah disebutkan dalam Syariat bahwa orang yang mati syahid adalah orang yang terbunuh di medan perang melawan musuh dan dibunuh oleh musuh, jika tidak maka dia bukan syahid.
Masalah: Tidak Dilihat Tangan Siapa Yang Membunuh Untuk Menyebut Seseorang Mati Syahid
Tentang pengertian syahid yang sedikit kami singgung di muka, tampak bahwa Jumhur Ulama –selain Madzhab Hanafi—tidak menjadikan tangan yang membunuh sebagai sebab tercapainya kesyahidan. Hanya sebuah pernyataan dari madzhab Hanafi yang mengatakan: Orang mati syahid adalah yang dibunuh kaum musyrikin, atau ditemukan terbunuh di medan tempur. Dan pendapat Jumhur ulama adalah yang lebih kuat.
Pendapat kalangan Madzhab Hanafi tadi terbantahkan oleh sebuah hadits di dalam Shohih Bukhori dan Muslim, dari Salamah bin Akwa‘aia berkata: “Kami berangkat bersama Nabi n menuju Khoibar…dst, lalu ia menyebutkan hadits selengkapnya. Di antara isinya: “…maka Rosululloh n bersabda: “Siapakah penunjuk jalan ini?” Orang-orang berkata: “‘Amir bin Akwa‘.” –Saudara Salamah bin Akwa‘—, beliau bersabda: “Semoga Alloh merahmatinya.” Orang-orang berkata: “Sungguh, dia pasti masuk surga wahai Rosululloh kalau bukan karena senjata kami padanya.” Maka tatkala pasukan saling bertemu, pedang Amir yang berukuran pendek menyenggol betis seorang Yahudi ketika dia ingin menebasnya, sehingga ujungnya berbalik mengenai mata lututnya dan ia pun gugur karenanya. Tatkala pasukan pulang, Salamah berkata: “Rosululloh n melihatku pucat, beliau menggamit kedua tanganku dan bersabda: “Ada apa denganmu?” kukatakan: “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, orang-orang menganggap Amir telah batal amalannya.” “Siapa bilang?” tanya Rosul. Aku berkata: “Si fulan, fulan, fulan, dan Usaid bin Khudoir Al-Anshori.” Maka Rosululloh n bersabda: “Dusta orang yang mengatakannya. Sungguh dia mendapat dua pahala –beliau merekatkan dua jarinya—, sungguh dia benar-benar berjihad dan seorang mujahid.”
Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunan-nya (hadits 2539) dari Abu Salam dari seorang shahabat Nabi n ia berkata: “Kami menyerang sekelompok orang dari Juhainah, maka ada salah satu dari kaum Muslimin yang mengejar seseorang dari mereka namun meleset sehingga pedangnya mengenai dirinya sendiri. Maka Rosululloh n bersabda: “Saudara kalian, wahai sekalian kaum Muslimin.” Maka orang-orang segera menghampirinya namun ternyata ia sudah meninggal. Maka Rosululloh n menyelimutinya dengan pakaiannya yang masih berlumuran darah, lalu beliau mensholatkan dan memakamkannya. Orang-orang berkata: “Wahai Rosululloh, apakah dia syahid?” beliau bersabda: “Ya, dan aku menanggungnya.”
Dari sini jelas, bahwa bukan menjadi syarat seorang Mujahid harus terbunuh dengan senjata musuh untuk dikatakan sebagai syahid. Orang mati syahid adalah yang berperang agar kalimat Alloh menjadi yang tertinggi, dan terbunuh di medan perang dengan cara apapun, orang seperti ini sudah bisa disifati sebagai orang yang mati syahid.
Orang yang tawaquf (tidak mengambil sikap) dalam masalah bolehnya menjalankan operasi mati syahid, syubhat yang ada padanya adalah: Mujahid yang melakukan operasi tersebut membunuh dirinya sendiri. Maka sikap ini tidaklah membenarkan dia, jika ia bertawaqquf karena syubhat ini, maka hendaknya ia tahu bahwasanya hal itu tidak mempengaruhi seseorang layak disebut syahid atau tidak. Sebab, syariat Islam terkadang membedakan dua permasalahan yang sama secara dzohir disebabkan tujuan dan niat –seperti telah saya singgung. Contoh paling kongkrit adalah masalah mengangan-angankan kematian, hukumnya akan berbeda ketika niat orang yang mengangankannya berbeda.
Contoh lain adalah haramnya nikah muhallil ketika seseorang menikahi perempuan agar halal bagi mantan suaminya. Tapi jika tidak dengan niat seperti ini, maka itu disyariatkan dan disunnahkan, jika dia bermaksud semata-mata menjaga kesucian diri dan mendapat kenikmatan yang disyariatkan, maka nikahnya adalah nikah yang sah secara syar‘i. Mengapa? Karena niat nikah yang pertama adalah agar halal bagi mantan suami, sedangkan yang kedua adalah untuk menjaga kehormatan. Maka niat mempengaruhi akad pertama sehingga membatalkannya, dan mempengaruhi akad kedua sehingga menjadikannya boleh bahkan dianjurkan.
Contoh lain adalah meninggalkan berobat; hukumnya akan berbeda sesuai niat. Jika ia meninggalkannya karena sikap tawakkal kepada Alloh maka itu dianjurkan, tapi jika karena sikap meremehkan maka itu haram dan tercela. Dan masih banyak lagi contoh masalah-masalah syar‘i yang bisa terpengaruh gara-gara niat, lalu dia berubah dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Karena yang dijadikan patokan dalam hal itu adalah sabda Rosul n –seperti diriwayatkan dari ‘Umar di dalam Shohih Bukhori Muslim—: “Sesungguhnya amal itu tergantung niat, dan setiap orang akan memperoleh sesuai apa yang dia niatkan.”
Jadi, niat adalah sebab utama (manath) berubahnya hukum dan pembedaan antara dua hal yang secara dzohir nampak sama dalam berbagai hukum syar‘i. Termasuk di antara sekian hukum syar‘i tersebut adalah orang yang terbunuh dalam pertempuran, di mana syariat menjelaskan bahwa siapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat Alloh menjadi yang tertinggi maka dia berada di jalan Alloh, sedangkan siapa yang berperang agar disebut pemberani maka dia berada di jalan setan. Ini jelas sekali terlihat dalam hadits-hadits Rosululloh n.
Dari sini jelaslah bagi kita bahwa hukum syar‘i yang berlaku bagi orang yang mati syahid tidak berubah dengan berlainannya pelaku pembunuhan, tidak juga dengan tangan siapa yang membunuh si Mujahid tersebut, alat apa yang digunakan dan bagaimana caranya, asalkan dia berperang karena mengharap wajah Alloh dan dengan niat ikhlas agar kalimat Alloh menjadi yang tertinggi. Meskipun seseorang itu dibunuh musuh, tetapi niatnya buruk, maka dia di neraka. Sedangkan orang yang dibunuh musuh tapi niatnya ikhlas, maka dia di surga. Ada orang bunuh diri karena putus asa, maka dia di neraka. Ada juga orang yang bunuh diri karena tidak sengaja, maka dia di jannah. Ada orang kepengin mati atau berdoa agar dirinya mati karena musibah yang menimpanya atau karena putus asa dengan kehidupan dunia, maka keinginan matinya ini haram. Sebaliknya, orang yang kepingin mati dan berdoa supaya dirinya mati karena mengharapkan apa yang ada di sisi Alloh, maka perbuatannya ini disunnahkan bahkan diperintahkan.
Dan orang yang membantu bunuh diri atau dia bunuh diri sendiri demi tegaknya kalimat Alloh dan melindungi kehormatan kaum Muslimin, maka dia sesuai dengan niatnya dan dia bukanlah orang yang bunuh diri. Dalil-dalil yang telah saya paparkan di muka mesti harus dijadikan bahan renungan bagi mereka yang mengharamkan bunuh diri dikarenakan khawatir bocornya rahasia.
Oleh karena itu, Syaikhul Islam berkata di dalam Al-Fatawa (juz 25 hal. 281): “Maka setiap Mukmin harus membedakan antara larangan Alloh untuk bunuh diri atau ikut menyebabkannya, dan antara syariat Alloh berupa dibelinya nyawa dan harta orang beriman oleh-Nya dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang beriman nyawa dan harta mereka dengan Surga…” dan firman-Nya: “Dan di antara manusia ada yang menjual nyawanya dalam rangka mencari keridhoan Alloh…” tolok ukur dalam hal ini adalah apa yang tercantum di dalam Al-Quran dan Sunnah, bukan dengan apa yang dianggap baik oleh seseorang atau berdasarkan apa yang menurutnya tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah…”
Kalau saja mereka yang mengharamkan dan melarang perbuatan ini membaca perkataan para Fuqoha –seperti tercantum dalam Al-Mughni Ibnu Qudamah: II/ 551— di antaranya Imam Al-Khuroqi al-Hambali, tentang wanita yang meninggal sementara di perutnya ada janin bayi yang masih bergerak ketika tidak ada bidan wanita yang bisa mengeluarkannya, maka janin itu hendaknya dibiarkan saja, kaum lelaki tidak boleh mengeluarkannya, tapi janin itu dibiarkan sampai mati dan dikuburkan bersama ibunya, semua ini demi menjaga kehormatan ibu yang meninggal agar kemaluannya tidak disentuh oleh lelaki Muslim non-mahram karena akan mengeluarkan janin yang masih hidup itu, artinya kehidupan bayi itu (yang masih bernafas) dikorbankan demi menjaga kehormatan ibunya yang sudah meninggal.
Wahai Anda yang berakal dan berfikiran sehat, bukankah lebih layak lagi jika seorang Muslim mengorbankan nyawanya di jalan Alloh demi menjaga kehormatan dan kehidupan ribuan wanita Mukminat agar tidak diperkosa oleh bule-bule najis dari kalangan Yahudi, Nashrani, kaum Komunis, kaum Murtaddin antek-antek Nushoiriyah di Suriah, pengikut Ba’ats di Irak, dan kaum sekuler di Tunisia, Libya, Maroko…dan, dan, tidak tahu sampai di mana ujungnya?!
Terakhir, sebagai ringkasan dari kajian ini:
1) Semua nash yang mengharamkan seorang Muslim bunuh diri atau melemparkan dirinya ke tempat-tempat yang membuatnya binasa itu bersifat umum dan bisa dikhususkan, di antara yang mengkhususkan adalah masalah yang kita kaji sekarang ini. Siapa menyatakan pendapat selain ini, maka dia harus mendatangkan dalil supaya kami kembali kepada dalil tersebut, suka atau tidak suka. Firman Alloh:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُم
“Maka demi Robbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan…” (QS. An-Nisa’: 65)
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Alloh dan Rosul-Nya agar Rosul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”.” (QS. An-Nur: 51)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka…” (QS. Al-Ahzab: 36)
2) Harus diketahui bahwa meng-qiyaskan orang yang bunuh diri di dalam aksi mencari mati syahid seperti ini dengan orang yang bunuh diri karena putus asa terhadap dunia atau karena musibah yang ia derita: adalah mengqiyaskan dua hal yang sama sekali berbeda. Orang yang benar-benar bunuh diri didorong oleh kelemahan diri, tidak sabar dan putus asa, dan ini tidak diridhoi Alloh. Adapun orang yang bunuh diri dalam operasi mati syahid seperti disebutkan di atas, yang mendorongnya adalah untuk menjadi tumbal bagi Islam dan saudara-saudaranya sesama Mukmin dengan mengorbankan nyawanya, ia ingin menjaga kehormatan mereka dengan darahnya yang dengan itu keunggulan Islam terraih dan bisa menimbulkan kerugian di barisan musuh. Orang seperti ini jiwanya tenang, gembira, berseri-seri dan berkeinginan untuk berjumpa Alloh dan menggapai keberuntungan berupa Surga. Maka, samakah dua orang ini?! “Apakah sama antara dua permisalan itu? Segala puji bagi Alloh, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
3) Bunuh diri karena takut akan membocorkan rahasia diperbolehkan, namun harus mengikuti rambu-rambu berikut:
a. Hendaknya niatnya ikhlas karena Alloh, motivasi untuk melakukan aksi ini adalah dalam rangka melindungi kaum Muslimin, Islam dan wilayahnya. Bukan karena tidak sabar menghadapi siksaan dan putus asa dengan apa yang menimpanya.
b. Rahasia tersebut sangat-sangat penting, di mana jika terbuka akan mengakibatkan bahaya besar mengenai kaum Muslimin, baik berupa kekalahan atau terbunuhnya salah seorang dari mereka, terlanggarnya kehormatan mereka atau mengakibatkan mereka dijebloskan ke penjara serta disiksa dalam waktu lama yang batasnya tidak diketahui oleh selain Alloh.
c. Hendaknya pemegang rahasia itu benar-benar sudah ditangkap musuh, bukan sekedar perkiraan. Atau, dia berada dalam kepungan dan tidak mungkin meloloskan diri sama sekali. Jika masih ada kesempatan untuk lari atau melawan sampai mati atau selamat maka tidak boleh bunuh diri, tapi dia wajib untuk melawan dan mengerahkan semua kekuatannya untuk lari atau membuat mereka yang membunuh dirinya.
d. Si pemegang rahasia tidak sanggup lagi menahan siksaan. Jika ia masih kuat dan sabar sampai mati, maka dia tidak boleh bunuh diri kecuali jika dia tidak kuat berdasarkan perhitungan waktu, ketika kondisinya seperti itu maka tidak apa-apa –kalaulah kita katakan sunnah atau wajib, sebab itu tergantung dampak dari bocornya rahasia tersebut— dia bunuh diri karena takut akan membocorkan rahasia.

oleh ishoomy

Pos ini dipublikasikan di Al Jihad, NASEHAT. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar